Sabtu, 15 Juni 2013

TESTIMONI ANTASARI AZHAR UNTUK HUKUM DAN PERADILAN

TESTIMONI ANTASARI AZHAR UNTUK HUKUM DAN PERADILAN




Penulis: Servas Pandur
Penerbit: PT Laras Indra Semesta,
554 halaman

Harga Rp. 185.000
Harga Elbe Rp. 150.000 (Hemat 35.000)

Awal April 2009, kabar tersendatnya proses perhitungan suara hasil pemilihan umum dengan sistem digital, tak pelak, membuat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada waktu itu, Antasari Azhar, bergerak. Sistem teknologi informasi yang dibangun Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan dana sekitar Rp 170 milyar itu ternyata gagal berfungsi.

Bagi KPK yang memiliki tugas memonitor dan mencegah orang dan sistem menjadi korup, masalah itu perlu didalami. Antasari Azhar meminta Wakil Ketua KPK, Haryono Umar, meneliti dan berkoordinasi dengan KPU. Antasari merasa perlu mendata dan mengawasi kredibilitas rekanan KPU, khususnya dalam pengadaan peralatan teknologi informasi KPU.

Namun, sebulan kemudian, Antasari Azhar masuk bui. Lelaki kelahiran Pangkal Pinang, Bangka, 18 Maret 1953, ini dituduh polisi sebagai dalang pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Sementara itu, hingga sekarang, pengusutan kasus yang lazim disebut skandal IT KPU oleh KPK itu tak pernah ada kabarnya lagi.

Kini di ruang publik pun berkembang rumor bahwa kasus pembunuhan Nasrudin itu terkait dengan pengusutan IT KPU. Antasari adalah korban skenario besar dari pihak yang mencurangi pemilu melalui sistem informasi.

Namun, bagi Antasari, dia awalnya tak pernah berpikir tentang pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pengadaan teknologi informasi KPU itu. "Kalau kemudian orang mengatakan si A, si B, belakangan baru saya tahu setelah saya ditahan," katanya.

Apa yang dikatakan Antasari tadi sepertinya hendak menegaskan kepada publik bahwa dia tak punya agenda untuk membidik pihak-pihak tertentu. Yang dilakukannya adalah semata-mata tugas. Penegasan Antasari tentang pengusutan IT KPU itu dituangkan dalam buku berjudul Testimoni Antasari Azhar untuk Hukum dan Keadilan.

Diluncurkan pada Kamis pekan lalu di Universitas Al-Azhar Jakarta, buku ini juga menjadi kesaksian Antasari atas kasus yang sekarang menjeratnya. Seperti dalam pengajuan peninjauan kembali yang diajukannya di pengadilan, dalam buku ini dipaparkan berbagai kejanggalan dalam pengusutan kasus yang menjeratnya --sejak penyelidikan hingga di pengadilan.

Bagi Prof. Jimly Asshidhiqie yang didaulat menjadi pembicara tunggal dalam peluncuran buku ini, kasus Antasari hendaknya menjadi pelajaran untuk memperbaiki citra penegakan hukum dan peradilan. Selama ini, penegakan hukum di Indonesia selalu diwarnai intrik politik, sehingga bisa dikatakan banyak peradilan yang sesat, seperti yang dialami Antasari. "Kalau saya jadi hakimnya, sudah saya bebaskan Antasari," kata Jimly.

Kasus Antasari memang sempat menggegerkan masyarakat Indonesia. Kasus ini juga menurunkan kasus lain yang tak kalah heboh. Yaitu kisah "cicak versus buaya". Rekan Antasari di KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, juga sempat ditahan polisi.

Pemantik kasus ini juga karena adanya kesaksian Antasari pada saat di penjara mengenai kemungkinan adanya suap kepada orang-orang KPK yang dilaporkan Anggoro Widjojo. Khusus untuk masalah ini, dalam bukunya Antasari memberikan klarifikasi.

Antasari mengaku tak pernah menyebutkan oknum, sedangkan laporan Anggoro yang menyuap KPK ditujukan kepada Ade Raharja dan Mohammad Jasin. Namun polisi malah tidak menjadikan Anggoro sebagai tersangka. Di sinilah kejanggalannya. "Kok, laporan dari Anggoro Widjojo (yang dipakai), bukan nama (Anggoro) yang dijadikan tersangka oleh Mabes Polri?" tanya Antasari.

Dalam buku ini, Antasari juga bercerita pengalamannya menangani kasus besar ketika masih menjadi jaksa. Misalnya menggeledah kediaman mantan Presiden Soeharto dan memimpin pelaksanaan eksekusi hukuman terhadap Tommy Soeharto. Beberapa pemikiran dan pandangannya mengenai penegakan hukum dan pengalamannya memimpin KPK bisa menjadi acuan bagi para penegak hukum masa depan.

Buku Testimoni Antasari ini ditulis Servas Pandur dan disusun selama enam bulan dari delapan kali sesi wawancara Antasari. Buku itu, menurut Ida Laksmiwati, istri Antasari, bukan dimaksudkan untuk menggiring opini publik. "Murni memberikan ulasan berbagai kejanggalan hukum di Indonesia agar bisa dipelajari kalangan hukum dan mahasiswa," katanya.

Pembelian hubungi 082 1234 05088
Setiap 1 buku yang terjual kami sisihkan Rp. 1.000 untuk dhuafa

1 komentar: