Rabu, 11 Juli 2012

SAMPAN ZULAIHA

Assalamualaikum sahabat ELBE
kali ini saya mereview buku berjudul
 

Sampan Zulaiha





 Pengarang : Hasan Al Banna
Jenis : Antalogi Cerpen
Penerbit : Koekoesan, Depok
Harga Rp. 38.000
Diskon 15% Rp. 32.300,-

Karya sastra, karya seni yang memiliki budi, imajinasi, emosi. Karya sastra juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. (Purba, 2010:7).

Lebih mendasarnya, apabila kita melihat akar istilah "sastra" itu sendiri yang bermakna memberi petunjuk, mengajarkan atau memberikan pengajaran. Tak jarang bila seorang penikmat sastra banyak mengadaptir nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra sebagai pemerkaya pengalaman dalam menjalani kehidupan. Kekayaan pikiran dan batin yang didapatkan seorang pembaca itulah yang dimaksud dengan konsumsi intelektual dan emosional.

Seyogyanya, sebuah karya tidak hanya bisa memberikan terobosan cakrawala berfikir pembaca, juga mampu menyentuh perasaan pembaca. Pembaca bisa saja menangis, tertawa, merenung, bahkan marah ketika membaca karya sastra, (sangat berbeda ketika membaca buku teks atau karya ilmiah). Karya sastra terlahir (dan memang) dilahirkan untuk merefleksikan kehidupan manusia pada zamannya.

Karya yang mampu merefleksikan kehidupan manusia pada zamannya tentulah memuat nilai budaya, kultur, pandangan hidup, dan ideologi masyarakat. Kelahiran tak terbendung bagi karya sastra berbahasa Indonesia, namun masih mengusung tema-tema kedaerahan, kemudian berganti label menjadi ?Sastra Indonesia Berwarna Lokal?.

Istilah warna lokal sendiri diperkenalkan oleh Jakob Sumardjo pada tahun 1979. Dalam buku ?Sastra dan Manusia", Antilan Purba menjawab bahwa bentuk sastra ini lahir dari perjumpaan dan kesepakatan antar sosial budaya lainnya. Di dalam perjalanannya, sosial, budaya, etnis, masih berperan sebagai subjek dalam pembentukan nilai baru. Kebaruan produk yang ikut serta atau dibawa dalam sastra Indonesia. (Purba, 2009 : 86)

Hasan Al Banna dalam kumpulan cerpennya, Sampan Zulaiha, juga ambil bagian dalam mewarnai khazanah sastra berwarna lokal. Dalam cerpen-cerpennya, ciri kelokalan itu tidak hanya terpusat pada setting (beberapa cerpen diambil dari Tapanuli Selatan, Toba, Pesisir, hingga perkotaan), juga pada nilai kultural, ideologi masyarakat, hingga esensi dari nilai-nilai normatif yang ada di Sumatera Utara. Kekentalan warna lokal inilah yang membuat pembaca (khususnya yang berada di Sumatera Utara) merasa dekat dengan peristiwa-peristiwa yang diungkap oleh Hasan melalui cerpen-cerpennya.

Cerpen utamanya adalah ?Sampan Zulaiha? yang menjadi judul kumpulan cerpen ini. Cerpen ?Sampan Zulaiha? mengambil setting sebuah daerah pesisir yang kental dengan kehidupan keluarga nelayan. Seorang anak kecil bernama Zulaiha, sangat ingin melaut.

Keberadaannya sebagai perempuan di masyarakat yang berpaham patriarki, semakin mengucilkannya dan merendahkan cita-citanya. Zulaiha menjadi objek yang termarginalkan dan sasaran kekerasan. Ibunya sendiri, tak bisa berbuat apa-apa ketika tendangan, tamparan dan hujan makian menerpa Zulaiha bertubi-tubi. Kekejaman ayah kandungnya tidak hanya karena stereotip bahwa anak perempuan tidak membanggakan keluarga, juga kecacatan tubuhnya yang menurut ayahnya adalah aib.

Laut menjadi segala tempat Zulaiha melabuhkan pedih luka dan pelipur hatinya. Zulaiha sangat ingin memeluk laut, seperti laut memeluknya dalam debur ombaknya yang syahdu. Lantas, bagaimana Zulaiha melaut? Ayahnya tak pernah mengizinkannya ikut naik ke sampan, apalagi untuk melaut? Tekad Zulaiha sudah sangat kuat. Dia ingin memeluk laut, menyatu dengan asin air laut, meleburkan lukanya bersama laut, Zulaiha ingin melaut!

Kisah ?Sampan Zulaiha? menjadi salah satu dari banyak kisah yang menarik di cerpen ini. Permasalahan kompleks yang terjadi sebagai realitas sosial di masyarakat menimbulkan gejolak pertengkaran antara adat, tradisi, nurani, dan dunia sastra sebagai dunia imajinasi. Untaian kata demi kata yang disusun, seolah ingin memupuk ladang imajinasi pembaca perlahan -dan pasti- menyeret-nyeret kita dalam lautan emosi yang campur aduk.

Sampan Zulaiha menjadi menarik sebab mengusung warna lokal yang tidak hanya tercermin dari bentuk pemakaian bahasa atau istilah kedaerahan dalam dialog, namun juga pada setting dan nilai-nilai normatif yang lahir dari adat-istiadat di masyarakat. Warna lokal yang dimaksudkan tentu bukan berarti cerpen ini hanya bisa dinikmati oleh masyarakat lokal yang mengenali dimana kelokalan tradisi itu mengalir, namun juga bagi pembaca secara umumnya. Teknik point of view pengarang yang membuat pembaca seolah berada dalam kejadian yang sama atau menjadi pelaku kejadian tanpa merasa digurui. Metafora yang membangkitkan keliaran bahasa serta penamaan tokoh yang unik (misalnya: Gokma, Saipeh, Dempol, dan sebagainya) juga menambah cita rasa cerpen.

Selain Sampan Zulaiha, masih ada 13 kisah lagi seperti Rumah Amangboru, Gokma, Parompa Sadun Kiriman Ibu, Ijazah, Pasar Jongjong, Rabiah, Kurik, Pertikaian Firasat, Tiurmaida, Horja, 15 Hari Bulan, Ceracau Ompu Gabe, dan Hanya Angin Yang Terpahat di Rahang Pintu yang juga segar untuk dinikmati.

Menanamkan nilai-nilai humanis dan mengajak manusia kepada kebenaran melalui sastra adalah salah satu tujuan dari kelahiran karya. Sastra dan karyanya tidak bisa lepas dari asas kemanfaatan, karena selain sebagai penghiburan, tentulah sebuah karya harus bisa menjadi perenungan. Hasan Al Banna kiranya telah menjawab ini dengan 14 cerpennya. Selamat berkontemplasi melalui sampan imaji Zulaiha!

Pemesanan hubungi via inbox atau di 082 1234 05088
Setiap 1 buku yang terjual kami donasikan seribu rupiah untuk yatim piatu

0 komentar:

Posting Komentar