Ketika Bulan Terbelah (When The Moon Split), Jejak Biografi Nabi Muhammad
Penulis : Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfuri
Sinopsis :
Keberhasilan tidak lahir di ruang hampa. Ia merupakan buah kerja keras dan perjuangan yang tak kenal lelah, pantang menyerah menghadapi berbagai aral melintang. Aral yang tidak semata-mata bersifat bendawi mati, tetapi juga badani hidup. Demikianlah jalan hidup para nabi sejak Adam hingga Muhammad. Mereka semua telah bekerja keras menyebarkan ajaran Tuhan, menyampaikan kebenaran, mengeluarkan manusia dari “kegelapan” kepada “cahaya terang-benderang”, dalam konteks ruang dan waktu masing-masing.
Epos mereka direkam dalam kitab-kitab suci, abadi di tangan para pengikut mereka hingga kini, terus-menerus hidup dan dihidupkan karena menjadi teladan ideal dalam kehidupan. Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfuri dalam buku ini menghadirkan epos dahsyat Nabi Muhammad, seorang nabi yang merupakan matarantai para nabi dan rasul sebelumnya. Ketika Bulan Terbelah (When The Moon Split) menjadi gambaran dahsyat perjuangan beliau menyebarkan kebenaran di tengah masyarakat pagan-politeis padang pasir Jazirah Arab, dimulai dari Mekah dan berlanjut di Madinah, dua kota suci yang hingga kini tak pernah sepi, seperti Jerussalem di Palestina.
Bulan memang pernah terbelah pada masa Nabi Muhammad, demikianlah sejarah menginformasikan. Abdullah bin Mas’ud, yang dikenal juga dengan nama Ibnu Mas’ud, salah satu dari “Abadilah Khamsah” (lima orang sahabat Nabi Muhammad yang bernama awal Abdullah), mengisahkan: orang-orang Quraisy Mekah meminta Nabi untuk memperlihatkan mukjizat kepada mereka, karena seperti yang mereka dengar dari cerita-cerita nenek moyang mereka, para nabi dan rasul terdahulu punya mukjizat yang diperlihatkan kepada kaumnya.
Nabi Muhammad lantas berdoa kepada Tuhan agar diberi mukjizat untuk diperlihatkan kepada mereka. Doa beliau dipenuhi: Nabi membelah bulan menjadi dua bagian. Setiap belahannya berada di dua sisi bukit Hira. “Lihatlah bulan itu! Saksikanlah!” kata Nabi kepada orang-orang. Mereka pun menoleh ke arah bulan dan melihatnya, takjub. Tetapi, mereka malah menyebut itu sebagai sihir. Seorang dari mereka mengatakan, “Mungkin Muhammad memantrai kita. Jadi, mari kita tunggu sampai beberapa musafir tiba di Mekah, dan menanyakan kepada mereka apakah mereka melihat sesuatu yang ajaib di tengah perjalanan mereka.”
Musafir atau kafilah niaga Quraisy yang tiba di Mekah beberapa hari kemudian pun segera mereka tanyai tentang terbelahnya bulan. Mereka menjawab bahwa mereka memang melihat terbelahnya bulan beberapa hari lalu, dalam perjalanan mereka. Ada begitu banyak orang yang menyaksikan bulan terbelah. Bukan hanya mereka yang ada bersama Nabi, tetapi juga para kafilah niaga di tengah perjalanan pulang mereka (hlm. 126-127). Sebagian kita saat ini, seperti halnya mereka, bisa jadi bertanya-tanya, benarkah bulan terbelah? Ada yang meyakini tanpa tanggapan, ada yang menyebutnya mungkin saja terjadi tetapi dengan perspektif atau penafsiran yang berbeda, ada juga yang tidak mengakuinya sama sekali.
Al-Mubarakfuri dalam buku ini meyakini dan menyebutnya sebagai mukjizat luar biasa Nabi Muhammad, seperti mukjizat-mukjizat yang juga dimiliki para nabi dan rasul sebelumnya. Tetapi, ia tidak memfokuskan buku ini pada aspek itu saja. Jalan hidup Nabi Muhammad justru tidak kalah dashyatnya dengan mukjizat terbelahnya bulan. Sejak menerima wahyu Tuhan, lalu menyebarkannya di tengah-tengah masyarakat, berbagai reaksi keras bermunculan. Awalnya sebatas kata-kata celaan, hinaan, cemoohan dan cibiran. Semakin lama perlakuan buruk secara fisik, baik terhadap Nabi maupun para pengikutnya yang kian hari bertambah banyak.
Ketika tengah beribadah di samping Ka’bah, kepala dan punggung beliau ditaruh jeroan unta yang baru disembelih. Dengan menitikkan air mata, Fatimah, putri beliau, datang membersihkan jeroan itu. Di hari yang lain, Nabi pulang dalam kondisi kepala dan baju kotor penuh debu. Rupanya, orang-orang menaburi debu kepada beliau. Istri Abu Lahab menaburi jalan yang biasa dilewati Nabi dengan duri untuk melukai beliau. Tetapi, semua itu tidak menggoyahkan perjuangan beliau. Frustrasi dengan cara kekerasan, orang-orang mencoba bernegosiasi dengan menawari beliau harta, kedudukan, dan wanita tercantik di Mekah asalkan beliau menghentikan dakwahnya. Itu pun tidak mempan.
Akhirnya, melalui rapat akbar di Darun Nadwah yang dihadiri para suku-suku di Mekah dan sekitarnya, diputuskan untuk menghabisi nyawa Nabi Muhammad. Rencana itu terdengar beliau, dan beliau memutuskan untuk berhijrah ke Madinah, ditemani Abu Bakar.
Penerbit : Alita Aksara Media, Depok
Cetakan : I, September 2012
Tebal : xiv+384 halaman
ISBN : 978-602-92890-5-3
Harga : Rp 85,000,-
Diskon 15% Rp. 72.300
Pembelian hubungi 082 1234 05088
setiap 1 buku yang terjual kami sisihkan Rp. 1.000 untuk dhuafa
Cetakan : I, September 2012
Tebal : xiv+384 halaman
ISBN : 978-602-92890-5-3
Harga : Rp 85,000,-
Diskon 15% Rp. 72.300
Pembelian hubungi 082 1234 05088
setiap 1 buku yang terjual kami sisihkan Rp. 1.000 untuk dhuafa
Sumber : Langit Buku di Toko bagus
Pembeli buku ini juga membeli buku :
0 komentar:
Posting Komentar